N.B.: Film ini ditonton bareng-bareng my very best friends sebelum kami pulang ke rumah masing-masing menjalankan tugas Praktik Kerja Lapangan (PKL) selama sebulan penuh. I will miss you all guys! :') for Arief Hidayat, Bayuaji Galih Kurniawan, Deryl Hernandar, Dimas Satria Purwo Sajati, Harjuna Esa Dinasthi, Hesna Syafrianti, Pujian Nauli, Raisha Nurul Ichsanti, and Rominta Sastriana Bakara. Yah, walaupun menurut review gw ini, filmnya worse, tapi spending time with you all guys before a short farewell was great.
Gw selalu takut untuk nonton film horor Thailand. Bukan karena gw takut untuk nonton film horor, tetapi karena menurut gw mereka mampu bikin film yang horornya ekstrim. Bisa jadi, sebagai sesama penduduk Asia Tenggara, selera horor kita sama. Bahkan jenis persepsi kita akan sosok hantu itu sama: wanita berambut panjang alias kuntilanak atau mayat yang hidup lagi dengan bentuk fisik yang rusak. Berbeda sekali dengan horor Hollywood, sebut saja “Paranormal Activity”, yang mereka klaim sebagai film yang menakutkan tetapi gw justru ga merasakan apapun yang menakutkan itu. Atau “The Shining”, yang dianggap sebagai film terhoror sepanjang masa, yang menurut gw ga terlalu horor banget (atau justru malah biasa banget). “Laddaland” mampu membuat gw berkali-kali mengintip dari balik jari-jari tangan untuk menyaksikan adegan yang sepertinya akan horor.
“Laddaland” sebenarnya dibangun dari premis yang sederhana tentang keluarga. Sopon Sukdapisit, sang sutradara, mencoba membangun kisah-kisah horor yang dipadu dan ditulangpunggungi suatu kisah drama. Bahkan, opening “Laddaland” sama sekali tidak mencerminkan kengerian ala horor; alih-alih, film dibuka manis dengan adegan Thee (diperankan oleh Saharath Sangkapreecha), sang ayah, menyambut kedatangan istri dan kedua anak mereka di rumah baru mereka. Konflik mulai terjadi ketika salah satu tetangga mereka mati dibunuh secara mengenaskan. Dari sanalah tersebar isu horor tentang hantu tetangga tersebut. Kemudian, isu terus berkembang dengan kematian tetangga-tetangga lain. Kata “Laddaland” sendiri diangkat dari nama perumahan tempat Thee dan keluarga tinggal. Perumahan Laddaland, alhasil, dicap sebagai perumahan berhantu oleh masyarakat, yang mulai berbondong-bondong pindah rumah meninggalkan rumah mereka di Laddaland akibat isu hantu-hantu tersebut.
Apa yang gw dapat dari menonton “Laddaland” adalah horor yang berkualitas. Maksudnya “berkualitas” di sini adalah penyajian horor secara sinematografi yang rapi, menarik, tidak membosankan, dan menegangkan. Blocking kamera yang baik juga ditampilkan. Gw ingat sekali di bagian menjelang akhir film di mana kamera ditempatkan sejajar dengan wajah tokoh sehingga ekspresi si tokoh sambil bergerak benar-benar terekam, ini adalah detil yang keren. Di samping hantu-hantunya sendiri yang memang sudah menyeramkan, segi teknis yang ditampilkan sungguh memikat.
Sayangnya, setelah menonton film ini secara utuh, gw mendapatkan bahwa kualitas sinematografi yang baik ini tidak diimbangi dengan cerita yang baik. Ending-nya sangat mudah ditebak. Kombinasi drama keluarga dan horor yang diusung film ini menjadi hancur berantakan. Semua tanda-tanya dalam kepala gw selama menonton film tidak dijawab di ending. Semuanya dibiarkan seperti itu, seolah-olah semua kejadian terjadi tanpa sebab dan memang-harus-demikian. Sangat mengecewakan. Adegan puncak, walaupun sangat tertebak, sangat membingungkan. <SPOILER STARTS> I mean, do you wanna tell us that all those miseries of the family are caused by GHOSTS? Be realistic! Thee menjadi peran yang harus merasakan akibat dari masalah yang sebenarnya tidak datang darinya, tetapi dari hantu-hantu yang berkeliaran di sekitarnya. Jadi, itu pesan film ini? Pengarakteran para tokoh juga terkesan dipaksakan, tidak mempersilakan penonton untuk mengerti asal-usul karakter tersebut. Misalnya tentang tokoh Nan (diperankan oleh Athipich Chutiwatkajornchai) yang di akhir film seperti tidak jelas apakah mengalami perubahan sikap atau tidak tentang ayahnya. Atau tentang pria tetangga sebelah rumah keluarga Thee yang sampai membantai habis keluarganya sendiri hanya karena hal yang (menurut saya) sepele. Apalagi, pembantaian itu diakhiri dengan dirinya yang harus bunuh diri. Dan, setelah sekeluarga itu mati mengenaskan, mendadak rumahnya dipenuhi hantu-hantu bergentayangan. Begitu? <SPOILER ENDS>
Pada akhirnya, semua ketakutan-ketakutan tersebut luruh di ending film. Memang, script-nya tertata baik. Tetapi ide cerita yang melandasi script tersebut, IMHO, masih (amat) banyak lubangnya. Eksplorasi drama yang diangkat sepanjang film menjadi satu hal yang menurut saya merusak. “Laddaland” adalah horor yang baik sekali dari segi teknis, tapi drama ini membuat semua itu rusak.
worst
GENRE Horror, Drama
CAST Saharath Sangkapreecha,
Piyathida Woramusik,
Suthatta Udomsilp
WRITER Sopana Chaowwiwatkul
DIRECTOR Sopon Sukdapisit
MORE ABOUT THIS MOVIE
see IMDB page
No comments:
Post a Comment