Opening scene film ini sungguh menjanjikan: blank screen dengan voice-over “Do you know what prime numbers are? Because if you don’t , you should just leave now.” Itu seperti jadi indikasi bahwa “Fermat’s Room” akan jadi film yang sangat “matematika”. Matematika memang kerap jadi topik yang diangkat sebagai cerita sebuah film, sebut saja “A Beautiful Mind”-nya Russell Crowe atau “Good Will Hunting”-nya Matt Damon. Berbeda dengan dua film tersebut, “Fermat’s Room” tampil dengan sentuhan misteri-thriller a la whodunit yang kental.
Gw tertarik nonton “Fermat’s Room” karena ini membangkitkan lagi passion lama gw akan matematika. Betapa tidak, lihat saja trailer-nya yang seolah mengaitkan film karya negara Spanyol ini dengan "Fermat's Last Theorem", di mana Pierre de Fermat menyisakan misteri matematika yang tidak terpecahkan tentang “no three positive integers a, b, and c can satisfy the equation a^n + b^n = c^n for any integer value of n greater than two”. Fermat, dalam salinan buku Arithmetica, menyisakan misteri bahwa “I have discovered a truly marvelous proof of this, which this margin is too narrow to contain.” “Too narrow to contain” menjadi topik utama film “Fermat’s Room”.
Intinya, empat ahli matematika diundang ke sebuah perhelatan misterius oleh seseorang yang mengaku bernama Fermat. Mereka tidak diizinkan membawa alat komunikasi, mereka harus menyembunyikan identitas mereka masing-masing, dan mereka diminta menggunakan pseudonim (nama samaran) sebagai panggilan. Akhirnya, tibalah keempat matematikawan tersebut di tempat perhelatan misterius itu diadakan. Tempat tersebut di luar perkiraan mereka: itu sebuah ruangan dengan interior yang agak nyentrik, lengkap dengan lemari-lemari buku berisi buku-buku matematika, meja makan dan kursi, serta sebuah papan tulis. Mereka mulai menyadari ada yang tidak beres ketika ruangan mendadak terkunci dari luar. Melalui PDA yang ada di ruangan tersebut, mereka dikirimi beberapa teka-teki (enigma) dan mereka harus memecahkannya dalam waktu satu atau dua menit. Jika tidak, maka dinding-dinding akan bergeser ke dalam, ruangan menyempit dan menghimpit mereka hingga tewas.
"When we do something good, we like to be seen." -- Oliva
Memang, “Fermat’s Room” sangat kental dengan sentuhan-sentuhan matematika. Di sana-sini penonton disajikan berbagai referensi tentang matematika, mulai dari pseudonim masing-masing matematikawan yang diundang, Galois (diperankan oleh Alejo Sauras), Oliva (diperankan oleh Elena Ballesteros), Hilbert (diperankan oleh Lluis Homar), dan Pascal (diperankan oleh Santi Millan), yang merujuk ke nama matematikawan bersejarah di dunia: Evariste Galois, Oliva Sabuco, David Hilbert, dan Blaise Pascal; teori-teori matematika seperti Goldbach’s Conjecture yang didengung-dengungkan sepanjang film; serta teka-teki logika yang dikirimkan via PDA untuk mereka pecahkan. Sayangnya, sisi “matematika”-nya hanya sebatas itu saja. Gw berpikir ada sesuatu yang lebih brilian atau lebih ngotak yang seharusnya disajikan film ini. Nyatanya, regardless of those “ridiculous” logic riddles (really, some of the riddles are quite popular—I’ve heard them before—and they are not supposed to be resolved by these qualified, smart, well-known mathematicians), “Fermat’s Room” berjalan datar.
Tidak ada hal yang membuat adrenalin gw terpacu karena pembawaannya yang kurang berhasil. Ya, suasana ketakutan akan dinding-dinding yang senantiasa menyempit, keadaan hurrying untuk memecahkan teka-teki, dan misteri besar di balik perangkap ini tidak dieksekusi dengan pintar sehingga gw tidak puas dengan ending filmnya. Memang, di beberapa bagian ada dialog yang hit me on the face, tetapi gw mengharapkan sesuatu yang lebih dari film ini. Gw justru menikmati teka-tekinya yang kadang-kadang membuat gw menekan tombol Pause untuk ikut berpikir, menebak penyelesaiannya, atau membayangkan solusi yang dipaparkan oleh para matematikawan ini (pernah main game “Professor Layton” di Nintendo DS? Teka-teki logikanya mirip-mirip dengan di game itu), walaupun gw juga menyesalkan kenapa tidak ada teka-teki yang lebih menyerupai math problem yang agak sulit daripada sekedar teka-teki logika ringan yang mungkin bisa dipecahkan oleh anak-anak.
Beberapa shot mungkin tergolong estetis, seperti adegan mobil jatuh ke jurang yang di-shot dari atas. Pengarakteran tokohnya, sayangnya, kelihatan agak kontras sehingga insting gw sudah bisa menebak dari awal siapa kira-kira tokoh di balik perangkap ruangan ini. Namun, menghargai ide cerita yang cukup segar, “Fermat’s Room” bisa jadi satu-satunya film dengan konten teka-teki terbanyak yang pernah dibuat. Topik matematika yang dielu-elukan sejak awal film pada akhirnya tidak terbayar. Begitupun dengan thriller yang diusung, walaupun segi misterinya masih bisa gw rasakan. Jika Anda penasaran dengan teka-tekinya, Anda bisa nonton “Fermat’s Room” tetapi jika Anda mencari ketegangan dari film ini, well, I don’t recommend you to watch it.
POOR
DETAILS & CREDIT
No comments:
Post a Comment