Yap! Setelah sebulan ini vakum, gw balik lagi movie-blogging! Dengan sedikit penampilan baru blog ini, semoga bisa menambah minat para visitors untuk terus mengunjungi blog ini!
Gw memulai aktivitas menonton film gw dengan mencicipi film horror buatan Indonesia, judulnya “Takut: Faces of Fear”. Film produksi tahun 2008 ini sebenarnya adalah sebuat antologi film, yakni film yang di dalamnya terdiri dari film pendek-film pendek dengan cerita yang berdiri sendiri. Ada enam film pendek besutan tujuh sutradara yang berbeda, di mana semuanya mengusung tema “ketakutan”. Di sini, penonton akan diajak untuk mengalami berbagai jenis ketakutan yang berbeda-beda.
Karena enam cerita itu tidak memiliki keterkaitan satu-sama-lain, gw akan me-review satu-per-satu segmen dalam film ini secara terpisah. Let’s check ‘em out!
Di segmen pertama ini, penonton diajak untuk merasakan ketakutan yang tidak ada kaitannya dengan hantu-hantuan atau kemistisan, melainkan sebuah suspense. Segmen besutan sutradara sekaligus screenwriter Rako Prijanto ini menceritakan ketidaksengajaan Bayu (diperankan oleh Lukman Sardi) membunuh seorang gadis kecil bernama Shira ketika Bayu mengira rumahnya kemasukan perampok. Karena gugup dan bingung, terpaksalah ia menyembunyikan mayat Shira agar tidak ketahuan Dinna (diperankan oleh Marcella Zalianty).
Yang harus ditekankan di sini adalah bahwa pendeknya durasi film pendek tentunya tidak bisa membuat sutradara mengeksplorasi karakter para tokoh serta menceritakan lebih dalam tentang kisah yang melatarbelakangi cerita. Karena itu, penonton akan dibuat menerima apa adanya cerita yang disuguhkan tanpa harus bertanya-tanya mengenai dua hal tersebut. Di lain pihak, IMHO sutradara harus bisa mengemas cerita sedemikian rupa sehingga tanda-tanya tersebut tidak menyeruak dan mengganggu sejumput cerita yang diketengahkan dalam film pendek.
Sayangnya, ini tidak dilakukan oleh Rako Prijanto. Ia meninggalkan penonton (atau gw) suatu kebingungan yang mengganggu gw untuk menerima cerita. Misalnya, siapa Shira? Gw menganggap ia adalah gadis yang “dititipkan” untuk tinggal bersama Dinna, sampai akhirnya gw buka Wikipedia dan menemukan bahwa ternyata ia adalah anak kandung Dinna bersama mantan suaminya. Lalu, mengapa Bayu langsung begitu curiganya bahwa rumahnya kemasukan perampok? Plot hole seperti ini sangat mengganggu. Alhasil, ekspresi takut itu tidak bisa muncul di wajah penonton. Di lain pihak, gw tidak melihat adanya urgensi untuk menyajikan gambar dalam keadaan sepi-warna akibat efek editing. Mau menyuasanakan suspense? Masih jauh dari ekspektasi.
poor
Ketakutan kedua disajikan dalam segmen “Titisan Naya” karya Riri Riza. Riri Riza? Ya, jarang-jarang ia buat film genre horror kan? Di sini, ketakutan digambarkan nge-blend dengan budaya Kejawen. Diceritakan Naya (diperankan oleh Dinna Olivia) dipaksa untuk ikut upacara memandikan keris di malam Jumat Kliwon akibat keluarga besarnya yang menganut budaya Jawa yang begitu kental. Sebagai wanita modern, ia menolak ikut. Alih-alih, di tempat upacara adat itu, ia malah menggoda sepupunya Leo (diperankan oleh Junior Liem).
Sebagai sebuah film horor, gw akui segmen ini disusun dengan rapi. Gw tidak menemukan plot hole yang membuat gw bingung, walaupun sebenarnya gw berekspektasi segmen ini bisa diakhiri dengan sedikit lebih “wah”. Detil tentang budaya Jawa yang ditampilkan cukup apik (walaupun gw ga ngerti :P) dan gw bisa melihat keseriusan sang sutradara untuk membangun ketakutan melalui pendekatan kultural seperti ini. Walaupun gw masih belum ngerasa takut setelah masuk ke segmen kedua ini (You wanna scary me? Hmm, try harder! :P), gw masih bisa menikmati suguhan cerita yang rapi.
acceptable
Di segmen ketiga ini, gw semacam menemukan kemiripan dengan segmen sebelumnya. “Peeper” menceritakan rasa penasaran Bambang (diperankan oleh Epy Kusnandar), seorang voyeur (hobi ngintipin cewek), terhadap penari wayang orang yang diperankan oleh Wiwid Gunawan. Sutradara sekaligus screenwriter Ray Nayoan mengarahkan film ini sebagai bentuk horor erotik, dan berhubung di sini ada Wiwid Gunawan, rasa “erotik”nya kentara sekali (if you know what I mean :3).
Rasa dipaksa-untuk-terima-aja-ceritanya begitu kental ketika gw nonton segmen ini. Gw ga ngerti apa yang membawa Bambang untuk (tiba-tiba) kepengen nonton wayang orang, tetapi terlepas dari itu, Epy Kusnandar mampu membawakan karakter voyeurisme dengan baik. Entah mengapa sang sutradara menyambungkan kisah ini dalam seni budaya wayang orang ala Jawa, tidak dengan bentuk seni lain. Ending segmen ini agak antiklimaks; <SPOILER STARTS> sedikit sentuhan gore di akhir itu cukup membuat gw notice, tetapi kehilangan sensasi. <SPOILER ENDS>
poor
Segmen keempat mungkin kembali membuat gw aware dengan antologi ini. Mengusung tema black magic, “The List” mengisahkan Sarah (diperankan oleh Shanty) yang menyuruh seorang dukun (diperankan oleh Ahmad Syaeful Anwar) untuk mengirimkan santet kepada mantan pacarnya, Andre (diperankan oleh Fauzi Baadila), yang telah mencampakkannya. Sederetan daftar (that’s why this segment’s called “The List”) santet telah disiapkan untuk menganiaya Andre dari jarak jauh.
Dialog yang lugas, akting yang memadai, serta visual-effect yang cukup membuat gw geli-geli sendiri (bayangin, mukanya Fauzi Baadila ditempelin lintah banyak banget~ ngebayanginnya aja udah bikin gw kelojotan sendiri >.<) membuat ide cerita yang tidak terlalu spesial ini menjadi lebih acceptable. Entahlah, mungkin kalo versi bioskopnya ada sedikit sensor di beberapa kata-kata yang sangat berkonotasi-negatif yang dilontarkan Shanty dalam dialognya. Sedikit twist di bagian ending mungkin sedikit dipaksakan, tetapi masih bisa gw terima. Tidak spesial, tetapi cukup memadai.
acceptable
Nah, part ini yang menurut gw amat melenceng dari big line antologi ini. “The Rescue” mengangkat tema survival dari zombie yang menyerang Jakarta. See? Ide ceritanya keren kan? Sayangnya, eksekusinya benar-benar payah. Gw sama sekali—SAMA SEKALI—ga ngerasa ngeri, takut, khawatir, atau depressed di segmen ini. I don’t know, how come this segment be included in this antology? Isn’t this movie supposed to scary viewers?
Segmen ini mengisahkan Tim Gegana beranggotakan Antariksa (diperankan oleh Reuben Alishama), Ngurah (Ananda George), dan Hatta (Tegar Satrya) menyelamatkan Gadis (Eva Celia Latjuba) bersama seorang wartawan (diperankan Sogy Indra Dhuaja) dari serangan zombie di Jakarta. Premisnya menjanjikan. Adegan gigit-gigitan mayat manusia antar zombie di bagian pembuka, diiringi narasi oleh Eva Celia, seperti menyemangati gw untuk menemukan jenis rasa takut baru yang sama sekali berbeda dengan empat segmen sebelumnya. Sayangnya, gw justru kecewa sekali.
Segmen ini justru di-banting-stir menjadi melodrama di bagian ending. Gw ga terpikat dengan adegan survival dari para zombie karena penyajiannya tidak jadi porsi utama. Sepertinya sang sutradara Raditya Shidarta lebih berfokus pada scope yang lebih besar (yakni tentang Jakarta yang punah dari manusia), bukan pada adegan survival-nya sendiri. Apalagi, dialog yang sedikit berbau politik membuat gw semakin kehilangan fokus.
worst
CAST Eva Celia Latjuba,
Reuben Alishama,
Sogy Indra Dhuaja
WRITER
Raditya Shidarta
DIRECTOR Raditya Shidarta
***
Segmen ini pernah dirilis sebagai film pendek terpisah sebelum akhirnya disertakan dalam antologi ini. Cikal-bakal film “Rumah Dara” ini adalah karya Kimo Stamboel dan Timothy Tjahjanto, alias The Mo Brothers. Hasilnya? IMHO, ini adalah segmen yang paling memikat gw dari lima segmen lainnya!
Menceritakan Dara (diperankan dengan sangat keren oleh Shareefa Daanish), seorang pemilik restoran, yang ternyata adalah seorang pembunuh keji yang kerap menjadikan pria-pria yang naksir dengannya sebagai korban, “Dara” mampu membuat sekitar sepuluh menit durasi segmen ini sangat berarti. Jujur, menonton film ini mengingatkan gw dengan film “Saw” dan “Kill Bill: Vol 1” (terutama ketika <SPOILER STARTS> Dara loncat ke meja makan dan menyabetkan golok ke leher Eko yang diperankan oleh Dendy Subangil, itu miriiiip banget dengan adegan Lucy Liu yang loncat ke meja makan dan memutus kepala seorang bos Jepang di film “Kill Bill: Vol 1”! <SPOILER ENDS>)
Memang, ide ceritanya sangat mainstream untuk mengangkat ekspresi takut bagi penonton. Tapi eksekusinya keren. Standing ovation untuk muka dingin penuh makna ala Shareefa Daanish!
very good
CAST Shareefa Daanish,
Mike Muliadro,
Dendy Subangil
WRITER & DIRECTOR
Kimo Stamboel dan
Timothy Tjahjanto
Mike Muliadro,
Dendy Subangil
WRITER & DIRECTOR
Kimo Stamboel dan
Timothy Tjahjanto
***
KESIMPULAN: “Takut: Faces of Fear” premiere di Indonesian International Fantastic Film Festival (iNAFFF) dan menerima positive reviews. Bagi gw, memang film ini masih perlu dipoles lagi karena gw belum menemukan bentuk kemasan baru untuk menyajikan ketakutan—masih berkutat pada slasher, suspense, dan horor-tradisional. Padahal, menurut gw, banyak kejadian sehari-hari yang jika dieksplorasi bisa menimbulkan ketakutan yang cukup signifikan. Namun, gw tetap appreciate dengan film ini. Setidaknya, compared to those trashy-cheap horror movies nowadays, film ini membawa angin segar bagi industri perfilman horor Indonesia.
TAKUT: FACES OF FEAR
Antologi
YEAR 2008
GENRE Horror
DIRECTOR
7 Directors
DISTRIBUTOR
Komodo Films
MORE ABOUT THIS MOVIE
see Wikipedia page
review nya keren ! di http://www.gostrim.com ada salah satu film diatas loh, coba di cek
ReplyDeleteblognya kok keren banget, enteng dilihat mata :D
ReplyDeletejunitapristi.blogspot.com
Makasih, blog kamu juga keren banget!
Delete