"Synecdoche, New York" sebenarnya adalah jenis film yang sulit dimengerti. Gaya penceritaannya tipikal fantasi, agak mirip "Eternal Sunshine of The Spotless Mind" bahkan lebih mengawang-awang daripada itu. Namun demikian, tidak berarti pesan yang dikandung film ini gagal tersalurkan. Film ini mencoba menyampaikan materi-materi yang dikandungnya dengan baik di tengah keabstrakan dan kenonlinearan plot yang dirajut sang sutradara yang juga merangkap sebagai writer film ini, Charlie Kaufman. FYI, beliau jugalah yang menulis naskah untuk film "Eternal Sunshine of The Spotless Mind".
Gw akan mencoba menjelaskan plot film ini berdasarkan yang gw tangkap setelah menonton film ini. Adalah Caden Cotard, seorang sutradara teater yang cukup ternama di kotanya, mengalami keresahan dalam hidupnya. Istri dan anaknya pergi meninggalkannya serta kesehatannya yang makin lama makin buruk menjadi penyebab awal self-destruction yang ia alami. Itu berlanjut dengan gagalnya hubungan perselingkuhan yang ia rajut bersama salah satu pemain teaternya dan hilangnya komunikasi dengan anak dan istrinya. Di tengah keadaan yang sangat menggalaukan hati itu, ia menerima sumbangan dana dari seorang filantropis yang ia gunakan untuk membuat suatu pertunjukan teater yang megah di kota New York. Kesedihan demi kesedihan semakin menambah sulit hidupnya, membuatnya makin terinspirasi untuk menciptakan ide gilanya dalam teater yang akan ia bangun itu.
Idenya adalah ia akan membuat teater yang menceritakan tentang replika hidupnya dan orang-orang di sekelilingnya. Maka ia ciptakanlah set yang serealistis mungkin dengan kota di mana ia besar dan berkeluarga. Tak lupa ia meng-casting orang-orang yang sekiranya mirip dengan orang-orang sungguhan yang mengisi kehidupannya. Melalui teater itu ia mencoba memberitahukan kepada dunia seperti apa hidupnya dan seperti apa kesedihan-kesedihan yang telah ia lalui. Inilah maksud dari kata Synecdoche (=sinekdoke), yakni sesuatu yang kecil untuk menggambarkan sesuatu yang besar.
Charlie Kaufman adalah tipikal sutradara yang sangat metaforis dalam memvisualisasikan ide-idenya yang “meloncat-loncat” dalam film. Hasilnya, beberapa bagian dalam film terkesan sangat tidak realistis walaupun secara kiasan bisa ditangkap apa maksudnya. Seperti rumah Hazel, selingkuhan Caden, yang digambarkan penuh dengan asap dan api yang terbakar di setiap pojok ruangan. Atau buku yang dibaca Caden—yang menurut psikolognya mampu membawa kebahagiaan dalam hidupnya—digambarkan terlalu “lebay”, di mana sang psikolog seperti mampu membaca pikiran Caden melalui kata-kata yang ia telah tulis dalam bukunya. Atau juga adegan di mana Caden menonton acara televisi yang isinya adalah dirinya sendiri. Bagi penonton yang lebih suka gaya penceritaan to-the-point, film ini mungkin akan membuat pusing-tujuh-keliling.
Namun, kiasan demi kiasan tersebut bergulir begitu indahnya sehingga menjadikan film ini tidak sekedar menyampaikan plot A-B-C tetapi juga mempersilakan penonton untuk mengeksplorasi pesan yang terkandung di dalamnya. Karena bagi gw, film ini bisa diterjemahkan dalam berbagai sudut pandang. Contohnya, lihat saja ketika Caden akhirnya menemui anaknya yang tengah sekarat. Anaknya yang telah lama enggan menemui ayahnya itu “didoktrin” untuk menganggap ayahnya mengidap kelainan orientasi seksual (homoseks) sehingga harus berpisah dengannya. Namun kerennya, Caden yang tentu saja sama sekali bukan gay, mau saja mengakui bahwa dirinya gay demi mendapatkan permohonan maaf dari anaknya yang mungkin dalam sekejap akan meninggalkan dunia selama-lamanya. Dari sebait adegan itu saja kita bisa menggali inspirasi dari seorang ayah yang luar biasa, yang mau mempermalukan dirinya demi mendapatkan maaf dari anaknya (di mana kondisinya seharusnya anaknyalah yang meminta maaf kepada ayahnya). Caden terlihat begitu mampu untuk berbesar hati. Selain itu di film ini gw juga mendapatkan banyak sekali petikan-petikan dialog yang inspiratif dan maknanya dalam. Seperti ketika Caden membagikan kertas kepada ratusan krunya yang bertuliskan pengalaman sehari-harinya, ia berkata, “I will have someone play me to delve into the murky, cowardly depths of my lonely, f*cked-up being. And he'll get notes too, and those notes will correspond to the notes I truly receive every day from my God.”
Dengan hadirnya Philip Seymour Hoffman yang sangat terampil membawakan peran Caden yang kesepian, sakit, dan menyesali kehidupan, disertai irama jazz-blues yang menjadi movie score utama, film ini menjelaskan kepada kita perihal kehidupan dan kematian yang kerap dikhawatirkan oleh manusia. Pesan yang agak klise namun berhasil dibawakan dengan baik melalui penggambaran yang metaforis walau banyak hal yang menimbulkan tanda tanya di sana-sini. Tetapi, sejatinya film ini adalah film yang one-of-a-kind. Seperti pujian majalah Time yang tertera di movie poster film ini, "Synecdoche, New York" adalah film yang sangat berambisi dan impresif.
Gw akan mencoba menjelaskan plot film ini berdasarkan yang gw tangkap setelah menonton film ini. Adalah Caden Cotard, seorang sutradara teater yang cukup ternama di kotanya, mengalami keresahan dalam hidupnya. Istri dan anaknya pergi meninggalkannya serta kesehatannya yang makin lama makin buruk menjadi penyebab awal self-destruction yang ia alami. Itu berlanjut dengan gagalnya hubungan perselingkuhan yang ia rajut bersama salah satu pemain teaternya dan hilangnya komunikasi dengan anak dan istrinya. Di tengah keadaan yang sangat menggalaukan hati itu, ia menerima sumbangan dana dari seorang filantropis yang ia gunakan untuk membuat suatu pertunjukan teater yang megah di kota New York. Kesedihan demi kesedihan semakin menambah sulit hidupnya, membuatnya makin terinspirasi untuk menciptakan ide gilanya dalam teater yang akan ia bangun itu.
Idenya adalah ia akan membuat teater yang menceritakan tentang replika hidupnya dan orang-orang di sekelilingnya. Maka ia ciptakanlah set yang serealistis mungkin dengan kota di mana ia besar dan berkeluarga. Tak lupa ia meng-casting orang-orang yang sekiranya mirip dengan orang-orang sungguhan yang mengisi kehidupannya. Melalui teater itu ia mencoba memberitahukan kepada dunia seperti apa hidupnya dan seperti apa kesedihan-kesedihan yang telah ia lalui. Inilah maksud dari kata Synecdoche (=sinekdoke), yakni sesuatu yang kecil untuk menggambarkan sesuatu yang besar.
Charlie Kaufman adalah tipikal sutradara yang sangat metaforis dalam memvisualisasikan ide-idenya yang “meloncat-loncat” dalam film. Hasilnya, beberapa bagian dalam film terkesan sangat tidak realistis walaupun secara kiasan bisa ditangkap apa maksudnya. Seperti rumah Hazel, selingkuhan Caden, yang digambarkan penuh dengan asap dan api yang terbakar di setiap pojok ruangan. Atau buku yang dibaca Caden—yang menurut psikolognya mampu membawa kebahagiaan dalam hidupnya—digambarkan terlalu “lebay”, di mana sang psikolog seperti mampu membaca pikiran Caden melalui kata-kata yang ia telah tulis dalam bukunya. Atau juga adegan di mana Caden menonton acara televisi yang isinya adalah dirinya sendiri. Bagi penonton yang lebih suka gaya penceritaan to-the-point, film ini mungkin akan membuat pusing-tujuh-keliling.
Namun, kiasan demi kiasan tersebut bergulir begitu indahnya sehingga menjadikan film ini tidak sekedar menyampaikan plot A-B-C tetapi juga mempersilakan penonton untuk mengeksplorasi pesan yang terkandung di dalamnya. Karena bagi gw, film ini bisa diterjemahkan dalam berbagai sudut pandang. Contohnya, lihat saja ketika Caden akhirnya menemui anaknya yang tengah sekarat. Anaknya yang telah lama enggan menemui ayahnya itu “didoktrin” untuk menganggap ayahnya mengidap kelainan orientasi seksual (homoseks) sehingga harus berpisah dengannya. Namun kerennya, Caden yang tentu saja sama sekali bukan gay, mau saja mengakui bahwa dirinya gay demi mendapatkan permohonan maaf dari anaknya yang mungkin dalam sekejap akan meninggalkan dunia selama-lamanya. Dari sebait adegan itu saja kita bisa menggali inspirasi dari seorang ayah yang luar biasa, yang mau mempermalukan dirinya demi mendapatkan maaf dari anaknya (di mana kondisinya seharusnya anaknyalah yang meminta maaf kepada ayahnya). Caden terlihat begitu mampu untuk berbesar hati. Selain itu di film ini gw juga mendapatkan banyak sekali petikan-petikan dialog yang inspiratif dan maknanya dalam. Seperti ketika Caden membagikan kertas kepada ratusan krunya yang bertuliskan pengalaman sehari-harinya, ia berkata, “I will have someone play me to delve into the murky, cowardly depths of my lonely, f*cked-up being. And he'll get notes too, and those notes will correspond to the notes I truly receive every day from my God.”
Dengan hadirnya Philip Seymour Hoffman yang sangat terampil membawakan peran Caden yang kesepian, sakit, dan menyesali kehidupan, disertai irama jazz-blues yang menjadi movie score utama, film ini menjelaskan kepada kita perihal kehidupan dan kematian yang kerap dikhawatirkan oleh manusia. Pesan yang agak klise namun berhasil dibawakan dengan baik melalui penggambaran yang metaforis walau banyak hal yang menimbulkan tanda tanya di sana-sini. Tetapi, sejatinya film ini adalah film yang one-of-a-kind. Seperti pujian majalah Time yang tertera di movie poster film ini, "Synecdoche, New York" adalah film yang sangat berambisi dan impresif.
★★★★★
YEAR 2008 GENRE Drama, Fantasy
CAST Philip Seymour Hoffman, Samantha Morton, Hope Davis
WRITER Charlie Kaufman DIRECTOR Charlie Kaufman
YEAR 2008 GENRE Drama, Fantasy
CAST Philip Seymour Hoffman, Samantha Morton, Hope Davis
WRITER Charlie Kaufman DIRECTOR Charlie Kaufman
No comments:
Post a Comment