Film karya anak negeri ini mencoba tampil beda dengan film-film lokal lainnya yang umumnya berada di jalur drama-romance, komedi, dan horor. “Kala” merupakan film besutan Joko Anwar, sutradara sekaligus screenwriter yang cukup idealis dalam membuat film, seperti film “Modus Anomali” yang rilis baru-baru ini. Namun, karena gw belum nonton film barunya itu, gw nonton film-film karyanya yang dulu-dulu. Salah satunya film “Kala” ini.
Menonton film ini membuat gw teringat akan gaya penyutradaraan dan penceritaan Mr. QT alias Quentin Tarantino. Di beberapa bagian, film ini tampak agak gore. Namun, gore yang ditampilkan cukup halus demi mempertahankan keutuhan film tanpa “campur tangan” Lembaga Sensor Film. Jadi, action-gore yang muncul tidak akan seekstrim “Kill Bill: Vol. 1” dan “Kill Bill: Vol. 2” ciptaan QT. Beberapa review yang gw temukan berkaitan dengan film ini menyatakan bahwa ini film lokal pertama yang ber-genre noir. Memang, dari latar belakang sejarah yang diangkat film ini, gaya sinematografinya yang tidak umum, dan setting waktu-tempat-suasana sangat memenuhi untuk dijadikan kategori noir. Dan ini menjadi tambah menarik dengan cerita dan skenario yang diciptakan oleh Joko Anwar. Ceritanya cukup memikat saya untuk betah nonton dari awal hingga akhir.
“Kala” bercerita tentang Janus (diperankan oleh Fachri Albar), seorang wartawan yang menderita narkolepsi (alias penyakit tidur tiba-tiba), yang menemukan fakta tentang kasus pembunuhan berantai yang marak terjadi belakangan di kota. Di lain pihak, seorang polisi bernama Eros (diperankan oleh Ario Bayu) tengah menemui jalan buntu dalam menyelidiki kasus tersebut. Benang merah film ini teruntai di akhir cerita (dan tentunya gw ga mau spoiler di sini :P), namun bisa gw pastikan bahwa cerita yang pada awalnya terkesan misah-misah itu akan bisa disambung dengan apik, tanpa dipaksakan. Plot penuh misteri kayak gini sangat khas, atau bisa gw katakan, Joko Anwar banget. Cerita yang disajikan memiliki kekuatan untuk “memaksa” penonton untuk menerima cerita apa adanya tanpa terkesan terpaksa, dan itu sisi positif film ini.
Berbicara tentang akting, film ini kaya akan cast-cast yang sudah populer di dunia perfilman Indonesia. Selain Fachri Albar dan Ario Bayu, juga ada Fahrani, Shanty, August Melasz, Frans Tumbuan, Sujiwo Tejo, dan Rima Melati. Bisa gw katakan, akting mereka semua—yaa….—not bad laaah… Cukup memenuhi walaupun sama sekali ga spesial.
Gw mengapresiasi Joko Anwar yang telah menciptakan film dengan genre yang sama sekali ga mainstream di dunia perfilman lokal kita yang hampir monoton alias itu-itu lagi. Sayangnya, masyarakat kita sepertinya kurang bisa menerima film ini sebagai salah satu jenis hiburan perfilman alternatif. Minggu pertama setelah rilis, menurut informasi hasil browsing di web, telah membuat film ini flop dan terhengkang dari bioskop-bioskop. Syukurnya, FFI 2007 mengganjar kerjakeras para kru film dengan dua penghargaan tata sinematografi terbaik dan tata artistik terbaik serta beberapa nominasi bergengsi, termasuk nominasi pemeran utama pria terbaik untuk Fachri Albar, nominasi pemeran pendukung wanita terbaik untuk Shanty, nominasi tata suara terbaik, dan (anehnya) nominasi penyuntingan terbaik.
Namun, apresiasi tersebut bukan berarti bahwa film ini flawless. Jujur, gw sangat amat terganggu dengan editing film ini (itu sebabnya gw bilang “aneh” film ini bisa dapat nominasi penyuntingan terbaik di FFI). Ga rapi banget bro! Jadi berasa nonton film 90-an. Apalagi di bagian gore-nya. Entah apakah ini memang sengaja di-set seperti itu oleh sang sutradara atau ini ketidaksengajaan, editing yang kurang elegan ini membuat “Kala” terkesan murahan (sorry to say). Ini dari kacamata gw (baca: viewer amatiran) lho. Di beberapa bagian juga terkesan adanya tambahan plot yang ga penting. Misalnya kayak Eros yang diketahui ternyata adalah seorang gay. Itu cuma muncul di satu scene dan gw ga melihat ada pengaruh apa-apa dengan scene-scene berikutnya. Jadi kayak sekedar tempelan aja biar mainframe film ini keliatan istimewa (dan oleh karena itu pula gw ga menyebut yang barusan sebagai spoiler karena entah elo udah tau atau enggak tentang ugly truth itu, sama sekali ga ngaruh dengan excitement elo ketika nonton film ini—kecuali bagi para cewek-cewek yang mungkin jadi broken heart ngeliat Ario Bayu yang gagah itu malah akting jadi homoseksual :P). Juga tentang perceraian Janus dan sang istri (diperankan oleh Shanty), terkesan tidak perlu dan ga jelas. Dialog di bagian awal film juga seperti kurang perlu. Gw pikir mau ada apaan kok tau-tau disuguhin dialog yang agak filosofis, eh taunya itu sekedar lip service belaka.
Untungnya, konsep yang tidak mainstream itu berhasil dibawakan dengan baik melalui kisah yang mumpuni. Gw suka sekali dengan cara packaging misteri-misteri yang disajikan misah-misah itu menjadi suatu benang merah yang logis. Salut untuk Joko Anwar yang mampu membawakan genre yang tidak umum ini ke tengah masyarakat kita yang perlu edukasi tentang film. Yaa… tapi balik lagi, mungkin masyarakat kita ga terlalu suka film yang agak mikir kayak “Kala”. Bagi gw, ini film yang bagus dan perlu diapresiasi.
Menonton film ini membuat gw teringat akan gaya penyutradaraan dan penceritaan Mr. QT alias Quentin Tarantino. Di beberapa bagian, film ini tampak agak gore. Namun, gore yang ditampilkan cukup halus demi mempertahankan keutuhan film tanpa “campur tangan” Lembaga Sensor Film. Jadi, action-gore yang muncul tidak akan seekstrim “Kill Bill: Vol. 1” dan “Kill Bill: Vol. 2” ciptaan QT. Beberapa review yang gw temukan berkaitan dengan film ini menyatakan bahwa ini film lokal pertama yang ber-genre noir. Memang, dari latar belakang sejarah yang diangkat film ini, gaya sinematografinya yang tidak umum, dan setting waktu-tempat-suasana sangat memenuhi untuk dijadikan kategori noir. Dan ini menjadi tambah menarik dengan cerita dan skenario yang diciptakan oleh Joko Anwar. Ceritanya cukup memikat saya untuk betah nonton dari awal hingga akhir.
“Kala” bercerita tentang Janus (diperankan oleh Fachri Albar), seorang wartawan yang menderita narkolepsi (alias penyakit tidur tiba-tiba), yang menemukan fakta tentang kasus pembunuhan berantai yang marak terjadi belakangan di kota. Di lain pihak, seorang polisi bernama Eros (diperankan oleh Ario Bayu) tengah menemui jalan buntu dalam menyelidiki kasus tersebut. Benang merah film ini teruntai di akhir cerita (dan tentunya gw ga mau spoiler di sini :P), namun bisa gw pastikan bahwa cerita yang pada awalnya terkesan misah-misah itu akan bisa disambung dengan apik, tanpa dipaksakan. Plot penuh misteri kayak gini sangat khas, atau bisa gw katakan, Joko Anwar banget. Cerita yang disajikan memiliki kekuatan untuk “memaksa” penonton untuk menerima cerita apa adanya tanpa terkesan terpaksa, dan itu sisi positif film ini.
Berbicara tentang akting, film ini kaya akan cast-cast yang sudah populer di dunia perfilman Indonesia. Selain Fachri Albar dan Ario Bayu, juga ada Fahrani, Shanty, August Melasz, Frans Tumbuan, Sujiwo Tejo, dan Rima Melati. Bisa gw katakan, akting mereka semua—yaa….—not bad laaah… Cukup memenuhi walaupun sama sekali ga spesial.
Gw mengapresiasi Joko Anwar yang telah menciptakan film dengan genre yang sama sekali ga mainstream di dunia perfilman lokal kita yang hampir monoton alias itu-itu lagi. Sayangnya, masyarakat kita sepertinya kurang bisa menerima film ini sebagai salah satu jenis hiburan perfilman alternatif. Minggu pertama setelah rilis, menurut informasi hasil browsing di web, telah membuat film ini flop dan terhengkang dari bioskop-bioskop. Syukurnya, FFI 2007 mengganjar kerjakeras para kru film dengan dua penghargaan tata sinematografi terbaik dan tata artistik terbaik serta beberapa nominasi bergengsi, termasuk nominasi pemeran utama pria terbaik untuk Fachri Albar, nominasi pemeran pendukung wanita terbaik untuk Shanty, nominasi tata suara terbaik, dan (anehnya) nominasi penyuntingan terbaik.
Namun, apresiasi tersebut bukan berarti bahwa film ini flawless. Jujur, gw sangat amat terganggu dengan editing film ini (itu sebabnya gw bilang “aneh” film ini bisa dapat nominasi penyuntingan terbaik di FFI). Ga rapi banget bro! Jadi berasa nonton film 90-an. Apalagi di bagian gore-nya. Entah apakah ini memang sengaja di-set seperti itu oleh sang sutradara atau ini ketidaksengajaan, editing yang kurang elegan ini membuat “Kala” terkesan murahan (sorry to say). Ini dari kacamata gw (baca: viewer amatiran) lho. Di beberapa bagian juga terkesan adanya tambahan plot yang ga penting. Misalnya kayak Eros yang diketahui ternyata adalah seorang gay. Itu cuma muncul di satu scene dan gw ga melihat ada pengaruh apa-apa dengan scene-scene berikutnya. Jadi kayak sekedar tempelan aja biar mainframe film ini keliatan istimewa (dan oleh karena itu pula gw ga menyebut yang barusan sebagai spoiler karena entah elo udah tau atau enggak tentang ugly truth itu, sama sekali ga ngaruh dengan excitement elo ketika nonton film ini—kecuali bagi para cewek-cewek yang mungkin jadi broken heart ngeliat Ario Bayu yang gagah itu malah akting jadi homoseksual :P). Juga tentang perceraian Janus dan sang istri (diperankan oleh Shanty), terkesan tidak perlu dan ga jelas. Dialog di bagian awal film juga seperti kurang perlu. Gw pikir mau ada apaan kok tau-tau disuguhin dialog yang agak filosofis, eh taunya itu sekedar lip service belaka.
Untungnya, konsep yang tidak mainstream itu berhasil dibawakan dengan baik melalui kisah yang mumpuni. Gw suka sekali dengan cara packaging misteri-misteri yang disajikan misah-misah itu menjadi suatu benang merah yang logis. Salut untuk Joko Anwar yang mampu membawakan genre yang tidak umum ini ke tengah masyarakat kita yang perlu edukasi tentang film. Yaa… tapi balik lagi, mungkin masyarakat kita ga terlalu suka film yang agak mikir kayak “Kala”. Bagi gw, ini film yang bagus dan perlu diapresiasi.
★★★★★
YEAR 2007 GENRE Film-Noir, Thriller
CAST Fachri Albar, Ario Bayu, Fahrani
WRITER Joko Anwar DIRECTOR Joko Anwar
CAST Fachri Albar, Ario Bayu, Fahrani
WRITER Joko Anwar DIRECTOR Joko Anwar
kalau soal eros yang gay..sepertinya itu menguatkan sosok eros sbgai ratu adil bro..karena ratu kan identik dengan wanita (pencinta.pria)..IMO si hehe..ga tau bener atau salah hehe.. btw salam kenal ya...
ReplyDeleteooh... bisa jadi sih. gw baru ngeh. logis juga sih jadinya.
Deleteya, salam kenal juga :) trims udah main ke blog ini
gue inget banget film ini, yg gue suka dari film ini gambar ama latarny yg bagus. jman2 dulu gmana gtu
ReplyDeleteya, latar tempatnya cukup diperhatikan dengan detil oleh Joko Anwar
Deletetu kayaknya di kota tua jkarta deh,,
Deletehe...........
Lagi nyari2 film ini, apa masih ada dvd-nya? ato link utk donlod nya? Pengen banget nonton karya ANwar yg satu ini, :-(
ReplyDeletekalo DVD orisinalnya kurang tau deh. link donlot ada kok, hehe.
DeleteMungkin karena keterbatasan budget, makanya special effectnya itu hancur banget, kita maklumi saja gan~
ReplyDelete